The blogger does not has any responsibility with the content. Diberdayakan oleh Blogger.

REVOLUSI HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT JAWA PEDESAAN

Pelaksanaan Revolusi Hijau di Indonesia dimulai sejak tahun 1960-an. Revolusi Hijau sebenarnya mengacu pada program intensifikasi pertanian tanaman pangan. Di Indonesia sendiri sebenarnya program intensifikasi sudah mulai dicoba pada waktu sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1937. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan produksi tanaman padi yang untungnya juga peningkatan tersebut dapat diusahakan tanpa mengubah struktur social pedesaan. Pikiran dasarnya adalah produksi padi harus naik, sedangkan soal pembagian hasil pada gilirannya akan diatur oleh kekuatan atau mekanisme pasar sendiri. Hasil Revolusi Hijau, ditunjang oleh aneka program-program seperti perkreditan rakyat, koperasi, rehabilitasi pengairan, dan sebagainya. Revolusi hijau sebenarnya suatu program intensifikasi tanaman pangan yang membawa ide modernisasi. Karena melalui program ini diintrodusir beberapa teknologi baru dalam pertanian.Tetapi selain itu yang ditonjolkan dalam pertukaran ini, ide modernisasi itu dilihat dalam kontekskelembagaan baru yang diterapkan dalam mengatur kelembagaan produksi. Dengan demikian pendekatan perubahan sosial yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan fungsional.Pada tingkat implementasi program, dibentuk beberapa organisasi yang member pelayanan kepada masyarakat, antara lain KOPERTA. Organisasi usaha ini tidak dikelola secara profesional. Pengurusnya bukan dari kalangan interpreneur, melainkan ditangani langsung oleh Lurah dan Pamong Desa.Organisasi ini tidak bertahan lama karena praktik-praktik pamong desa tidak disegani petani.Karena dianggap gagal, maka pemerintah Orde Baru mengganti nama koperasi dengan BadanUsaha Unit Desa (BUUD). Organisasi baru ini dianggap berhasil dan ditingkatkan menjadi KUD. Namun perkembangan KUD ini tidak menggembirakan karena 93% petani lemah tidak berminat menjadi anggota. Kemudian diperankan lagi pendekatan Bimbingan Massal (BIMAS).Program ini berhasil dengan baik dengan tercapainya peningkatan hasil panen. Dan padagilirannya, pelayanan BIMAS ditingkatkan. Tetapi pada akhirnya juga sistem ini gagal karena praktik penyimpangan yang terjadi dalam mekanisme penyaluran paket-paket bantuan. Selain itudi kalangan petani kecil ada yang ragu memanfaatkan bantuan kredit. Catatan Franke dalam Tjondronegoro membuktikan adanya hubungan system BIMAS dengan pelapisan sosial.Dampaknya ialah petani kaya lebih mampu mengakses kredit karena aset tanah dan modal yangdimilikinya dibanding petani kecil. Pada akhirnya petani kaya menyewa tanah dari mereka, dan selanjutnya semakin mengakumulasi penguasaan tanah. Hubungan patron-klient semakin mengarah pada hubungan eksplotatif.Dengan demikian program ini tidak menambah kemandirian petani kecil bahkan menambah ketergantungannya pada patron karena kekuatan kapitalnya.Polarisasi pemilikan mungkin tidak terjadi di sini, tetapi penguasaan tanah menumpuk dikalangan petani kaya dalam arti ekonomis. Dengan pengertian bahwa mereka yang memilikimodal kuat mampu mengakses teknologi dan fasilitas lain untuk memperluas usaha taninya. Ide modernisasi melalui revolusi hijau berhasil dilihat dari sudut peningkatan produksi pertanian.tetapi hal ini tidak diikuti oleh perubahan kelembagaan yang diadaptasi secara kuat dalam olehmasyarakat.Modernisasi di daerah pedesaan berlangsung tanpa pembangunan, didasarkan atas pengamatan bahwa kelembagaan desa tidak dikembangkan menjadi organisasi yang mutakhir. Pesimisme terhadap perubahan sosial pedesaan yang disiratkan dalam buku milik Tjondronegoro menunjukkan pendekatannya yang lebih cenderung mengikuti aliran modernisasi baru, yang berpijak pada kekuatan perubahanyang berakar dari nilai kelembagaan tradisional. Ini merupakan usaha dini untuk melihat perilaku lapisan-lapisan petani dalam era Revolusi Hijau. Perbedaan dampak Bimas kepada masyarakat kecil, yakni terungkapnya bahwa petani kaya lebih mampu memperbaiki nasibnya berdasarkan aset tanah dan modal yang dimilikinya. Selain itu, resiko kegagalan panen karena faktor-faktor yang tidak dikuasai oleh petani. Perbadaan dampak BIMAS bagi masyarakat kecil yakni terungkapnya bahwa petani kaya lebih mampu memperbaiki nasibnya berdasarkan aset tanah dan modal yang dimilikinya dibandingkan dengan petani kecil.Lapisan teratas masyarakat petani mempunyai beberapa keuntungan, kecuali meningkatkan luas tanahnya dan menarik kredit lebih banyak, lapisan tersebut tetap memanfaatkan tenaga kerja yang cukup banyak tersedia. Lapisan atas juga bertambah mampu unutk mengadakan usaha-usaha yang berkaitan dengan ekonomi perkotaan. Sedangkan lapisan bawah masyarakat petani petani cenderung keluar dari masyarakat pedesaan dan pindah ke kota sampai bear untuk mencari pekerjaan di sektor informal seperti jasa dan perdagangan kecil. Dengan masuknya teknologi baru dibidang pertanian sudah jelas ada lapisan-lapisan masyarakat desa yang bertambah kaya dan berkuasa atas sumbardaya sehingga timbul gejala komersialisasi di masyarakat desa. Ada lima indikator yang dipakai untuk mengukur tingkat komersialisasi dalam studi tersebut, yakni penggunaan tanaga dalam produksi padi, uasaha mengurangi biaya, penen terbuka/tertutup, yaitu derep atau upah tebas, penjualan padi dan upah buruh. Persoalan yang mungkin juga tidak mengherankan adalah pola konsumsi daerah pedesaan yang makin menyerupai ota dan ini dipercepat oleh komunikasi massa yang berfungsi sebagai iklan dan penyebar gambaran pola hidup perkotaan.Perubahan-perubahan sosial yang terjadi akibat “Revolusi Hijau” tampaknya ditunjang oleh Revolusi pendidikan, Revolusi kesehatan, dan Revolusi Transport.Sebagai penunjang Revolusi Hijau, sistem irigasi sangat diperlukan dan usaha pemerintah untuk merehabilitasi peraian di Indonesia berhasil baik. Ditinjau dari segi sarana ini Revolusi Hijau Indonesia tampaknya berhasil, tetapi perlu disadari bahwa resiko petani kecil tetap relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani kaya. Petani yang tergolong lapisan atas, setelah menjadi mandiri usahanya merasa tidak tertarik lagi pada KUD. Sehingga dapat disimpulkan bahwa KUD belum dapat dijadikan andalan organisasi mutakhir pada tingkat kelompok petani di pedesaan. Dampak sosial dari revolusi hijau adalah keterbatasan petani-petani kecil untuk mengembangkan dan melaksanakan proses intensifikasi pertanian pangan. Hal tersebut dikarenakan mereka lebih berhati-hati dalam keikutsertaan mereka yang menjadi pemikiran petani yang kurang menguasai sumber daya, kurang berpendidikan dan kurang mempunyai modal. Perenggangan kelas antara petani kecil dan petani kaya menimbulkan konflik mengenai penguasaan sumber daya. Hal lain yang menjadi varian adalah penguasaan tanah yang menumpuk pada petani kaya dalam arti yang lebih ekonomis. Daerah pedesaan tidak mempunyai bentuk-bentuk organisasi yang menjadi wadah mereka untuk memperjuangkan kepentingannya. Organisasi yang paling kuat adalah organisasi para pamong desa. Dominansi organisasi justru ada pada birokrasi desa yang diperkuat pembinaan militer. Hubungan antara desa dan luar desa adalah melalui jalur tersebut. Hubungan antara patron-klien semakin melemahdan mengurangi ikatan-ikatan yang terlibat dengan revolusi hijau. Pengendalian yang efisien adalah dengan melalui organisasi. Pertambahan lapisan sosial mengakibatkan munculnya suatu lapisan menengah. Gejala ini umum sekali terjadi di negar-negara yang sedang berkembang dan melaksanakan Revolusi Hijau. Lapisan menengah tersebut mengiblat pada kota dan ekonomi uang. Apabila hal ini yang menjadi tujuan pembangunan, maka model pembangunan tersebut berhasil diterapkan. Tetapi, apabila pemerataan yang dituju, maka hasilnya justru berlawanan.Peningkatan produksi akan mensejahterakan semua petani secara merata, ternyata tidak sepenuhya benar. Dengan timbulnya proses stratifikasi, penguasaan atas sumber daya dan berbagai fasilitas oleh petani kaya juga berjalan terus. Artinya pemerataan sehubungan dengan berbagai kemudahan dan sarana, maupun produk akhir belum tercapai. 1) Deskripsi perubahan sosial Revolusi Hijau dengan beberapa program paketnya, mengakibatkan adanya perubahan sosial dalam masyarakat yaitu perubahan pola budaya dan struktur sosial. Perubahan pola budaya tampak pada perubahan nilai tradisional yang bersifat kekerabatan pada mulanya berubah nilai ekonomi yang memperhitungkan untung dan rugi. Hubungan yang mulanya sakap-menyakap menjadi sewa-menyewa, gejala komersialisasi, penggunaan sarana-sarana transportasi, komunikasi informasi dengan teknologi yang lebih maju dan pola konsumsi ala perkotaan, serta memodernisasi dalam pertanian. Perubahan struktur sosial tampak pada perubahan dalam organisasi sosial, sistem pelapisan sosial, dan kelembagaan sosial (Bimas, Inmas, sistem pengairan, dan sistem sewa walau belum ada organisasi baru dari masyarakat). Perubahan tersebut meliputi perubahan struktur dan kuantitas, kecuali pada pelapisan sosial dimana yang berubah hanya komposisinya. 2) Bentuk perubahan dari struktur sosial Perubahan biasanya diikuti dengan berubahnya jumlah masyarakat yang ada di desa karena sebagian dari mereka pindah ke kota. Yang terjadi adalah perubahan mata pencaharian dari petani menjadi penjual jasa atau pedagang kecil.Perubahan pada ciri hubungan antara bagian-bagian dari struktur sosial, tampak pada hubungan antara petani yang semula hubungan sakap-menyakap menjadi sewa menyewa, hubungan patron-klien yang semula kekeluargaan menjadi hutang piutang.Perubahan fungsi-fungsi dari struktur sosial tampak para petani yang sudah tidak dapat bercocok tanam lagi karena penguasaan lahan oleh petani kaya, akan cenderung menuju kota akibat pandangan kehidupan kota yang lebih menjajikan, walaupun berbeda dalam kenyataan.Perubahan dalam hubungan diantara beragam struktur dalam bacaan tampak pada perubahan jumlah serta komposisi lapisan petani yang menyebabkan adanya perubahan keanggotaan KUD. Petani lapisan atas dan bawah memilih tidak menjadi anggota KUD, sedangkan petani lapisan menengah banyak yang menjadi anggota KUD karena bermanfaat untuk mereka.Berkembangnya struktur sosial baru dalam bacaan tampak pada komersialisme dan pola konsumsi ala masyarakat perkotaan, juga perkembangan masyarakat yang semakin individualistik. Daftar Pustaka: Tjondronegoro,Soediono M.P. 1990.Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa. LP3ES : Jakarta Ritzer,George dan Douglas J.Goodman.2009.Teori Sosiologi.Kreasi Wacana : Yogjakarta Sanderson,K.Stephen.1993.Sosiologi Makro.Raja Grafindo Persada : Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar